Kamis, 14 April 2011

Program "Diplomatic Forum"

PRESS RELEASE:

Diplomatic Forum, Mewujudkan RRI Menjadi Lembaga Penyiaran Berkelas Dunia
Selasa, 12 April 2011

RRI World Service, Voice of Indonesia, menyajikan “Diplomatic Forum” ,  membahas isu strategis dengan perspektif global, program khusus yang disiarkan  secara langsung dari Hotel Sultan Jakarta. Tema yang diangkat pada edisi ini adalah “Sino Indonesia Relations – One Year after ACFTA). Hal ini juga terkait dengan Keketuaan Indonesia sebagai Ketua ASEAN tahun 2011.

Pelaksanaan Perjanjian Perdangan Pasar Bebas ASEAN Cina (ACFTA) meski baru berlangsung lebih dari satu tahun namun berdampak luar biasa terhadap naiknya lalu lintas barang dan jasa di dua kawaan tersebut.  Produk Cina yang volumenya meningkat tajam beredar di Indonesia adalah elektronik, pakaian jadi, mainan anak-anak, alas kaki serta produk makanan dan minuman.

Menurut catatan Cina, defisit perdagangan di pihak Indonesia sebesar 2.8 miliar dolar AS, tapi catatan Indonesia, deficit yang dialami adalah 5 hingga 7 miliar dolar AS. Apakah Cina melakukan dumping terhadap produknya? Akankah ada renegosiasi terhadap produk tersebut?  Bagaimana tanggapan pelaku bisnis asing di Indonesia? Dan bagaimana upaya Indonesia menembus pasar Negara tirai bambu tersebut? Duta Besar RRT untuk Indonesia .Y.M. Zhang Qiyue dan dari Beijing Duta Besar Indonesia  untuk RRT Y.M. Imron Cottan akan menjelaskan dalam dialog interaktif tersebut. Pelaku bisnis dari RRT, yakni Direktur Utama ICBC Indonesia Yuan Bin juga akan menjelaskan secara lengkap.

Selain itu Indonesia dan RRT mempunyai banyak ikatan sejarah dan latar belakang budaya yang beragam. Kami juga mengundang Prof. Dr. A Dahana akademisi dari Universitas Indonesia untuk membahas aspek budaya sebagai kekuatan “soft power” dalam diplomasi antar bangsa dari kedua Negara yang bersahabat tersebut.  Dalam konteks internasional, Indonesia dan RRT sama-sama menjadi “soft power giant” demi kemakmuran bersama masyarakat kawasan Asia.

Kedepan, RRI World Service, Voice of Indonesia juga akan membahas isu strategis global lainnya seperti isu masyarakat ekonomi ASEAN dan upaya bersama mengatasi dampak pemanasan global dengan menghadirkan narasumber yang berkompeten.

Digelarnya “Diplomatic Forum” ini juga merupakan salah satu upaya mewujudkan visi RRI menjadi Lembaga Penyiaran Berjaringan Terluas, Pembentuk Karakter Bangsa dan Berkelas Dunia.

Melalui RRI World Service, Voice of Indonesia, kami akan menyoroti bagaimana Indonesia , dan bangsa lain di berbagai kawasan dapat berkiprah dalam ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Selain disiarkan melalui audio streaming www.voi.co.id acara ini juga disebarkan luaskan oleh beberapa mitra RRI World Service di luar negeri dan khusus Jakarta melalui Pro 2 RRI Jakarta , FM 105./sls
------------------------------------------------------------------------------------------


Cat: Nantikan “Diplomatic Forum” berikutnya di http://.en.voi.co.id in english

Hasil Liputan Media:

ACFTA Bisa Menguntungkan (Kompas, Rabu 13/4/11)

Jakarta, Kompas - Penerapan Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN-China tak selalu berdampak negatif. Indonesia dan China sama-sama memperoleh keuntungan dari kesepakatan tersebut. Agar keuntungan yang diperoleh maksimal, Indonesia memiliki banyak pekerjaan rumah yang harus dibenahi, terutama menyangkut daya saing industri nasional. Hal tersebut mengemuka dalam forum diplomatik bertema Enhancing Sino-Indonesia Relations and One Year After ACFTA di Jakarta, Selasa (12/4). 

Acara tersebut dihadiri duta besar China untuk Indonesia, Zhang Qiyue, Direktur Utama Industrial Commercial Banking of China (ICBC) Indonesia, Yuan Bin, Dirjen Kerja Sama Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan, Gusmardi Bustami, dan dosen Universitas Indonesia, A Dahana.
Menurut Zhang Qiyue, kekhawatiran tentang ACFTA sudah muncul sejak setahun lalu. Namun, setelah satu tahun berjalan, kekhawatiran tersebut tak perlu dilanjutkan. Dampak positif sudah mulai dirasakan Indonesia dan China. ”Neraca perdagangan Indonesia terus melonjak, begitu pun dengan negara kami. Saya lihat ACFTA telah berjalan dengan baik,” katanya.
Meskipun begitu, lanjut Zhang, dalam waktu dekat Perdana Menteri China akan berkunjung ke Indonesia untuk membicarakan hambatan dan keluhan dalam pelaksanaan ACFTA.”Kedatangan beliau ke Indonesia akan membahas banyak hal. Salah satunya soal pelaksanaan ACFTA,” katanya.
Sejak ACFTA diterapkan, jumlah perusahaan China yang menanamkan investasi di Indonesia juga bertambah. Hingga akhir 2010 terdapat lebih dari seribu perusahaan China yang tercatat di Indonesia, dengan investasi langsung mencapai 2,9 miliar dollar AS, atau naik 31,7 persen dari tahun sebelumnya.
Gusmardi mengatakan, China merupakan mitra dagang terbesar bagi negara-negara ASEAN. ACFTA meningkatan neraca perdagangan Indonesia ke China, yakni sekitar 15 persen. Memang impor juga naik, tetapi harus dilihat jenis barang yang diimpor. Sebagian besar berupa mesin-mesin dan bahan baku, yang menjadi investasi positif bagi manufaktur,” ujarnya. 

Menurut Yuan Bin, ICBC telah banyak menyalurkan pembiayaan ke Indonesia. Tidak hanya untuk pemain besar, tetapi juga kalangan usaha kecil dan menengah. Peran tersebut menjadi salah satu implikasi positif penerapan ACFTA. 

Secara terpisah, Wakil Menteri Perdagangan Mahendra Siregar mengatakan, ACFTA jangan hanya dilihat dari aspek perdagangan saja, tetapi juga investasi. ”Tidak sepenuhnya ACFTA berdampak negatif. Ada sisi positif yang bisa diambil jika Indonesia mampu mengelola dengan baik. Buktinya ekspor sepatu dan tekstil serta produk tekstil kita naik pesat pada 2010. Angkanya bahkan tertinggi sepanjang sejarah,” katanya.
Mahendra menambahkan untuk mengatasi dampak negatif, pihaknya akan segera melakukan pembicaraan dengan pihak China. (ENY)

Tidak Perlu Kawatir Berdagang dengan China (antara)

JAKARTA:  China menginginkan kerja sama perdagangan yang sama-sama menguntungkan dalam kerangka Kesepakatan Perdagangan Bebas Asean-China (CAFTA) kata Duta Besar China Zhang Qiyue di Jakarta, Selasa 12 April 2011.
“Kami menginginkan perdagangan yang sama-sama menguntungkan, bila hanya kami yang untung tentu hal itu tidak akan berkelanjutan, Indonesia merupakan mitra strategis China demi keuntungan jangka panjang dari kedua pihak,” ujarnya dalam acara “Diplomatic Forum” yang diadakan oleh Radio Republik Indonesia.

Dubes Zhang menyampaikan hal tersebut menanggapi maraknya pemberitaan mengenai defisit perdagangan Indonesia dengan China dalam kerangka CAFTA terutama karena terjadinya perbedaan data dengan China mencatat defisit Indonesia hanya sebesar 2,8 miliar dolar AS sementara Indonesia mencatat defisit 5-7 miliar dolar AS pada 2010.

CAFTA merupakan kerja sama perdagangan antara negara-negara anggota Asean dan  China yang sudah ditandatangani mulai 2004 namun baru sepenuhnya diimplementasikan pada 1 Januari 2010.
“Sebenarnya tren CAFTA sangat baik karena mulai mulai 2005 terjadi peningkatan lebih dari dua puluh persen setiap tahun, tahun lalu bahkan mengalami peningkatan sebesar 50 persen,” tambah Zhang.

Ia juga mengatakan sebenarnya dalam perdagangan bilateral dengan Indonesia, lebih dari 10 tahun China mengalami defisit dan baru dua tahun belakangan, Indonesia yang mengalami hal yang sebaliknya dan menurut statistik China, defisit Indonesia tidak terlalu besar dibanding defisit China dulu. “Namun hal itu tidak penting karena yang terpenting adalah statistiknya konsisten dengan menunjukkan peningkatan perdagangan,” ungkapnnya.

Ia juga meminta agar masyarakat dapat melihat komponen barang impor Indonesia dari yang berupa bahan mentah, bahan setengah jadi dan juga mesin yang digunakan dalam kegiatan ekonomi yang digunakan untuk menggerakkan pembangkit listrik.


“Indonesia seharusnya tidak perlu khawatir karena dengan barang impor tersebut perekonomian Indonesia dapat berkembang dan masyarakat pun mendapat keuntungan dengan adanya produk yang lebih murah dari China,” jelasnya.

Menurut Zhang, perusahaan China juga ada yang mengalami kesulitan karena CAFTA seperti produsen buah. “Banyak buah tropis asal Asean hadir di China sehingga menekan produsen buah di China, dan sejauh yang kami ketahui hanya sepuluh persen perusahaan China yang melakukan ekspor-impor dengan Asean dalam kerangka CAFTA,” tambahnya.

Zhan juga menyebutkan bahwa pihaknya mendorong perbankan China untuk memberikan pinjaman komersial kepada industri yang masih lemah dan rentan di Indonesia dan juga mendukung investasi perusahaan China di Indonesia.
“Misalnya kesepakatan Industrial and Commercial Bank of China Limited (ICBC) dengan Kementerian Perindustrian agar industri yang rentan seperti tekstil dapat lebih mudah memperoleh pinjaman dari bank China,” katanya.
“Jadi saya pikir yang harus dilakukan adalah mendorong pemerintah untuk meningkatkan iklim investasi sehingga banyak perusahaan yang mau berinvestasi di sini,” tambahnya.


Direktur Jenderal Kerja Sama Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan, Gusmardi Bustami yang juga hadir di acara tersebut mengatakan bahwa memang sudah ada kesepakatan mengenai pinjaman untuk industri dari China. “Nilainya kira-kira 350 dolar AS, dapat ditanyakan lebih lanjut ke Bank Ekspor Impor Indonesia (Bank Exim) dan semoga akan ada tambahan saat kunjungan Perdana Menteri China Wen Jiabao pada bulan ini,” ujarnya.

Ia juga menjelaskan mengenai upaya kesepakatan ekspor langsung sarang burung walet dari Indonesia ke China sebagai salah satu contoh peningkatan produk ekspor Indonesia.
Menurut data Kementerian Perdagangan, nilai ekspor Indonesia ke China pada 2010 bernilai 15,7 miliar dolar AS, meningkat dari tahun 2009 yang hanya sebesar 11,5 miliar dolar AS dan 14 miliar dolar AS berupa ekspor non-minyak dan gas.

Sementara impor Indonesia dari China pada 2010 bernilai 20,4 miliar dolar AS, meningkat 31 persen dari tahun 2009 yang hanya berjumlah 14 miliar dolar AS sedangkan nilai investasi China di Indonesia menurut Badan Koordinasi Penanaman Modal bernilai 173,6 juta dolar pada 2010. (ant)

Wednesday, April 13, 2011 14:23 PM
Headlines
No talks with RI on ASEAN free trade pact: China
Linda Yulisman, The Jakarta Post, Jakarta | Wed, 04/13/2011 8:00 AM | Headlines

China says it will not review the ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) with Indonesia as it is not a bilateral agreement.

Indonesia could, however, discuss specific problems with China, Chinese Ambassador to Indonesia Zhang Qiyue said on Tuesday.

“Whenever there is a specific problem, the Chinese government is very much willing to discuss it with [our] Indonesian counterparts,” Zhang told reporters after a forum hosted by state radio station RRI in Jakarta.

The ACFTA was signed in 2004, leaving enough room to make arrangements for gradual tariff reductions and to disseminate information on implementing the agreement, Zhang said.

Zhang added that Indonesia’s trade deficit with China was US$1.2 billion since the agreement was implemented in 2010, according to Chinese government statistics — substantially less than the $5.6 billion recorded by the Indonesian government. Indonesia needed to look at the specific items constituting its trade deficit, rather than the amount, Zhang said.  The deficit is a result of imports of raw materials, intermediate materials and machinery used to support economic activities,” she said, adding that in recent years, Indonesia had increased its imports of Chinese machinery to build infrastructure, such as power plants. 


Zhang said that the free trade agreement had had an overall positive effect although China had suffered a trade deficit with ASEAN as a whole.
According to the Chinese government, trade between China and ASEAN was valued at $292.8 billion in 2010, up 37.5 percent from 2009, before the ACFTA was implemented.
China’s exports to ASEAN were valued at $138.2 billion in 2010, up 30.1 percent, while its imports were$154.6 billion, up 44.8 percent. 


Zhang said China would take several measures to help Indonesia, such as asking Chinese commercial banks to give more loans to vulnerable Indonesian industries and encouraging Chinese firms to invest in Indonesia.

Several Chinese steel, textile and footwear companies are reportedly eying investments in Southeast Asia’s largest economy.

Zhang said China would encourage its textile and footwear machinery associations to assist their Indonesian counterparts.

“We want to develop bilateral trade between China and ASEAN or Indonesia. We want both sides to get the long term benefit from [the ACFTA],” she said.

Indonesia scrapped 6,682 tariffs for goods in 17 sectors, including 12 in the manufacturing sector and five in the agriculture, mining, and maritime sectors following the ACFTA’s implementation on Jan. 1, 2010.

According to a survey released by the Industry Ministry in March, Indonesian products have lost ground to Chinese goods in the domestic market after ACFTA’s implementation.

Meanwhile, Trade Minister Mari Elka Pangestu was quoted by detikfinance.com as saying that she still believed the solutions agreed to by the China and Indonesia in 2010 would solve trade imbalances.// Jakarta Post.

JAKARTA -- Pemerintah China mengklaim tidak bermain curang dalam ACFTA. Sebaliknya pemerintah negeri tirai bambu itu optimis kerja sama perdagangan dengan Indonesia terus tumbuh.

Duta Besar RRC untuk Indonesia Zhang Qiyue menilai kerja sama Asean China Free Trade Area (ACFTA) menjadi pintu masuk investor negeri tirai bambu itu ke nusantara. Menurut dia, aneka produk murah yang merajai pasar Indonesia dianggap wajar dan justru berdampak positif.

"Jadi, tolong media jangan menyebut seolah-olah itu salah China. Coba cari sisi positif dan objektif," kata Zhang dalam acara Diplomatic Meeting bertema ACFTA dan Dampaknya untuk Indonesia di Hotel Sultan Jakarta kemarin. Zhang datang didampingi sejumlah staf dari Kedubes China.

Menurut Zhang, dari evaluasi sejak 2006 hingga 2011, investasi China karena ACFTA semakin meningkat. Termasuk, produk murah yang merajai pasar. "Tapi juga dilihat secara utuh. Ini kan kerjasama ASEAN dengan China, jadi seharusnya produk ASEAN yang lain bisa juga masuk ke Indonesia," katanya.

Berdasar evaluasi Kementrian Perindustrian Indonesia, nilai ekspor lima katagori produk China volumenya meningkat tajam. Kelima produk tersebut adalah elektronik, pakaian jadi, mainan anak-anak, alas kaki, serta produk makanan dan minuman.

Sebanyak 190 produk China sudah beredar di Indonesia, 38 di antaranya lebih murah dari pasar domestic mereka. Selain itu, ada perbedaan penghitungan neraca perdagangan yang tidak seimbang.
Menurut catatan China, defisit perdagangan di pihak Indonesia sebesar USD2,8 miliar. Namun, catatan Indonesia, defisit yang dialami USD5 miliar-USD7 miliar.

Zhang mengakui adanya perbedaan pencatatan itu. "Tapi, sebenarnya itu hanya metode penghitungan saja yang berbeda. Bukan suatu yang prinsip," katanya.

Diplomat karier yang kemarin berbaju merah itu menyebut, kepentingan China justru membuat neraca berimbang. "Itu akan membawa manfaat untuk dua belah pihak," katanya.

Zhang juga menjelaskan, bulan ini Perdana Menteri China Wen Jiabao akan berkunjung ke Indonesia. "Kita berharap ada kerjasama-kerjasama strategis yang bisa dihasilkan. Lebih banyak lagi, karena kita ini sudah seperti saudara selama ratusan tahun," katanya.

Direktur Kerja sama Perdagangan Internasional Gusmardi Bustomi yang mewakili Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu mengamini pernyataan Zhang. Menurut Gusmardi, China dan Indonesia sedang mencari solusi bersama menyiasati produk-produk murah yang menekan industri lokal. "Nanti kita upayakan win-win solution," katanya.

Saat PM Wen datang, Indonesia akan menawarkan beberapa naskah kerja sama. Diantaranya tentang aturan ekspor sarang burung ke China. Juga, soal pinjaman lunak (soft loan) yang akan diusahakan Indonesia. "Jumlahnya belum final. Nanti pekan depan mungkin keluar angkanya," katanya.
(rdl)/fajar on line
-----------------------------------
Terimakasih untuk teman-teman wartawan yang telah meliput acara "Diplomatic Forum", RRI World Service Voice of Indonesia.(LR)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar